Nama : Amelia Putri Liliani
NPM :
10210607
Kelas : 4 EA 18
1.
Kasus
pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia :
Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia
(FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh
manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di
Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di
negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3.
Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh
ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras
menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang
digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen
keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus
menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi
Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa
ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP
76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti
paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau
tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi
ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa
Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa
terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya
MNC di Indonesia terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari
perselisihan soal normatif yang sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan
diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege berlebihan, ternyata sia-sia. Berkali-kali
perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan dengan
UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah
diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik,
untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan
sumbangan PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya,
sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukan Indonesia.
Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT
FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti
emas, perak, dan konon uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri
dan tidak mengalami pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya,
PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi
Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI
dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh
badan dan pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis
penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah
pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh pihak imigrasi.
2.
Iklan
Tidak Etis ( Iklan Head and Shoulder Shampoo )
Sinopsi
: Darius menanyakan tentang shampoo nomor dua dan nomor satu di dunia. Tokoh dalam
iklan tersebut tidak mengetahui shampoo nomor dua di dunia, ia hanya mengetahui
shampoo nomor satu di dunia. Dalam iklan ini jelas menampilkan tulisan “ No. 1 “.
Pelanggaran dalam iklan ini
: Pernyataan superlatif di dalam iklan melanggar EPI BAB IIIA No. 1.2.2 yang
menyatakan bahwa: ” Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti
“paling”, “nomor satu”, “top, atau kata-kata berawalan “ter” dan atau yang
bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus
dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dan otoritas terkait atau sumber
yang otentik.”
3. Kasus
Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar. Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar. Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
KESIMPULAN
Penjualan barang oleh eksportir keluar negeri dikenai berbagai ketentuan dan pembatasan serta syarat-syarat khusus pada jenis komoditas tertentu termasuk cara penanganan dan pengamanannya. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan perdagangan yang berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik (export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler. Disamping itu eksportir haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor. Kegiatan ekspor yang lancar akan ikut menyumbang pendapatan negara dari sektor pajak ekspor disamping tentunya akan berdampak positif berupa keuntungan yang diperoleh eksportir tersebut. Sementara itu untuk kasus dumping Indonesia – Korea Selatan pada akhirnya dimenangkan oleh pihak Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor.
Penjualan barang oleh eksportir keluar negeri dikenai berbagai ketentuan dan pembatasan serta syarat-syarat khusus pada jenis komoditas tertentu termasuk cara penanganan dan pengamanannya. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan perdagangan yang berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik (export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler. Disamping itu eksportir haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor. Kegiatan ekspor yang lancar akan ikut menyumbang pendapatan negara dari sektor pajak ekspor disamping tentunya akan berdampak positif berupa keuntungan yang diperoleh eksportir tersebut. Sementara itu untuk kasus dumping Indonesia – Korea Selatan pada akhirnya dimenangkan oleh pihak Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor.
4. Kasus Tertangkapnya AS Bukti
Efektifnya Whistle Blower di Pajak
Penangkapan seorang pegawai
pajak. Pegawai berinisial AS tersebut diduga menerima suap dari salah seorang
Wajib Pajak. Penangkapan AS dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di
Komplek Legenda Wisata, Cibubur pada Jumat siang tanggal 13 Juli 2012. Yang
mengejutkan publik ternyata AS merupakan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak,
sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KaKPP) Pratama Bogor. Penangkapan ini merupakan
hasil kerjasama antara Direktorat Kepatuhan Internal DJP dengan KPK. “Ini
indikasi kuat berjalannya sistem whistle blower, bahwa masyarakat bisa
melaporkan jika ada indikasi penyimpangan dan tim KPK akan segera
menindaklanjuti. Saya sangat apresiasi dengan tim KPK,” ujar Dirjen Pajak Fuad
Rahmany yang dikutip beberapa media dalam jumpa pers Sabtu lalu.
Jika menilik pernyataan Fuad
Rahmany ini maka modus operasi penangkapan pejabat pajak AS ini tidak berbeda
dengan penangkapan TH -salah seorang pegawai Pajak di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Sidoarjo Selatan- bulan silam. Beruntunnya kasus suap terkuak yang
menimpa pegawai Direktorat Jenderal Pajak kembali mendatangkan tudingan ke
tubuh instansi ini. Dikatakan reformasi birokrasi itu telah gagal. Benarkah?
Sejak tahun 2002 Direktorat
Jenderal Pajak telah melaksanakan reformasi birokrasi. Untuk menuju good
governance dilakukan perbaikan secara mendasar terhadap sistem birokrasi.
Memangkas jalur birokrasi agar menjadi lebih sistematis dan efisien. Perbaikan
struktur organisasi dan administrasi tentu tak bisa berjalan tanpa sinergi dari
SDM yang handal dan berintegritas. Untuk pembenahan SDM ini, Direkrorat
Jenderal Pajak tak henti-hentinya mengeluarkan kebijakan yang mendukung. Dari
pemberian reward dan punishment yang seimbang, hingga pemberlakuan
whistleblowing system yang mulanya menuai pro kontra di kalangan internal
pegawai sendiri. Polemik yang terlontar kebijakan tersebut hanya akan menjaring
pelanggar kelas “teri”.
Whistleblowing system mulai diberlakukan
tahun 2012 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-11/PJ/2011.
Sistem yang revolusioner ini dibuat untuk membangun budaya korektif dan peduli
pada masyarakat luar dan pegawai DJP, agar bersama-sama mengawal proses
reformasi birokrasi.
Masyarakat diberi kesempatan
untuk melaporkan pelanggaran yang diketahuinya melalui saluran yang telah
disediakan. Bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan
seluruh pegawai DJP dapat mengadukan peyimpangan yang dilakukan atasannya,
bawahannya, maupun sesama koleganya. Untuk memudahkan pegawainya, pimpinan
Direktorat Jenderal Pajak telah menyediakan instrumen yang mendukung. Antara
lain dengan adanya aplikasi di intranet Kepegawaian yang memungkinkan setiap
pegawai untuk mengadukan peyimpangan yang dilakukan pegawai lainnya. Setiap
pegawai dapat melakukan login dengan jaminan identitasnya akan dirahasiakan.
Pengaduan itu kemudian akan ditindaklanjuti Direktorat Kepatuhan Internal dan
Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda), sebuah Direktorat yang berfungsi
semacam provost. Kerjasama antara KPK dan Kitsda inilah yang akhirnya telah
menangkap basah AS dan TH.
Informasi ini yang harus terus
disebarluaskan ke masyarakat. Bahwa tertangkapnya AS ini justeru karena
pengawasan berjalan efektif di internal Direktorat Jenderal Pajak. Jangan
sampai tertangkapnya AS jadi demotivasi bagi pegawai pajak lain, karena stigma
yang keliru. Direktorat Jenderal Pajak baru satu-satunya instansi pemerintahan
yang berani mengeluarkan kebijakan whistleblowing system ini dan menggandeng
KPK dalam pelaksanaannya. Mungkin bagi sebagian masyarakat kebijakan ini
terdengar agak kejam, seperti menggunting dalam lipatan. Karena setiap pegawai
akan menjadi mata-mata bagi pegawai lainnya. Tapi menurut penulis pengawasan
melekat dari lingkungan terdekat seperti ini cukup efesien. Karena mereka yang
dalam kesehariannya bersosialisasi dengan seorang pegawai biasanya akan lebih
cepat mencium ketidakberesan yang dilakukan pegawai tersebut.
Masyakat harus lebih adil dan
fair dalam menilai kasus tertangkapnya AS ini. Semua ini bisa terjadi karena
efektifnya sistem pengawasan internal tadi. Jadi reformasi birokrasi belum
gagal, justeru akan terus berlanjut. Seharusnya apresiasi diberikan ke pimpinan
Direktorat Jenderal Pajak, karena kebijakan whistleblowing system ini tidak
hanya menjaring “Ikan Teri” tapi juga “Kakap”.
http://obrolanekonomi.blogspot.com/2013/04/menjelang-era-globalisasi-ekonomi.html
http://deviapriyanti158.blogspot.com/2013/05/kegiatan-ekspor-dalam-bisnis.html
http://www.pajak.go.id/content/article
Tidak ada komentar:
Posting Komentar