Rabu, 08 Januari 2014

ETIKA BISNIS

Nama              : Amelia Putri Liliani
NPM               : 10210607
Kelas               : 4 EA 18

1.      Kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia :
Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen pada operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di negara lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3. Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal sikap Freeport (Davis, G.F., et.al., 2006).
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi kawasan, nasional, bahkan global.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI, privilege berlebihan, ternyata sia-sia. Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI diperpanjang kendati bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara. Padahal, tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara. Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukan Indonesia.
Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan konon uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri dan tidak mengalami pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan tidak listing di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit memberikan pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja lokal serta beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh pihak imigrasi.

2.      Iklan Tidak Etis ( Iklan Head and Shoulder Shampoo )
Sinopsi : Darius menanyakan tentang shampoo nomor dua dan nomor satu di dunia. Tokoh dalam iklan tersebut tidak mengetahui shampoo nomor dua di dunia, ia hanya mengetahui shampoo nomor satu di dunia. Dalam iklan ini jelas menampilkan tulisan “ No. 1 “.
Pelanggaran dalam iklan ini : Pernyataan superlatif di dalam iklan melanggar EPI BAB IIIA No. 1.2.2 yang menyatakan bahwa: ” Iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif seperti “paling”, “nomor satu”, “top, atau kata-kata berawalan “ter” dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang harus dapat dibuktikan dengan pernyataan tertulis dan otoritas terkait atau sumber yang otentik.”

3.      Kasus Dugaan Dumping Terhadap Ekspor Produk Kertas Indonesia ke Korea
Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi 67 juta dolar. Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
KESIMPULAN
Penjualan barang oleh eksportir keluar negeri dikenai berbagai ketentuan dan pembatasan serta syarat-syarat khusus pada jenis komoditas tertentu termasuk cara penanganan dan pengamanannya. Setiap negara memiliki peraturan dan ketentuan perdagangan yang berbeda-beda. Produk yang akan dipasarkan haruslah memiliki standar mutu yang baik (export quality) sehingga dapat memuaskan konsumen serta pengiriman barang yang tepat waktu yang dapat berdampak terhadap pemesanan secara reguler. Disamping itu eksportir haruslah mengerti selera konsumen negara tujuan ekspor. Kegiatan ekspor yang lancar akan ikut menyumbang pendapatan negara dari sektor pajak ekspor disamping tentunya akan berdampak positif berupa keuntungan yang diperoleh eksportir tersebut. Sementara itu untuk kasus dumping Indonesia – Korea Selatan pada akhirnya dimenangkan oleh pihak Indonesia. Namun untuk menghadapi kasus-kasus dumping yang belum terselesaikan sekarang maka indonesia perlu melakukkan antisipasi dengan pembuatan Undang-Undang (UU) Anti Dumping untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat melonjaknya barang impor.

4.      Kasus Tertangkapnya AS Bukti Efektifnya Whistle Blower di Pajak
Penangkapan seorang pegawai pajak. Pegawai berinisial AS tersebut diduga menerima suap dari salah seorang Wajib Pajak. Penangkapan AS dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komplek Legenda Wisata, Cibubur pada Jumat siang tanggal 13 Juli 2012. Yang mengejutkan publik ternyata AS merupakan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KaKPP) Pratama Bogor. Penangkapan ini merupakan hasil kerjasama antara Direktorat Kepatuhan Internal DJP dengan KPK. “Ini indikasi kuat berjalannya sistem whistle blower, bahwa masyarakat bisa melaporkan jika ada indikasi penyimpangan dan tim KPK akan segera menindaklanjuti. Saya sangat apresiasi dengan tim KPK,” ujar Dirjen Pajak Fuad Rahmany yang dikutip beberapa media dalam jumpa pers Sabtu lalu.
Jika menilik pernyataan Fuad Rahmany ini maka modus operasi penangkapan pejabat pajak AS ini tidak berbeda dengan penangkapan TH -salah seorang pegawai Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo Selatan- bulan silam. Beruntunnya kasus suap terkuak yang menimpa pegawai Direktorat Jenderal Pajak kembali mendatangkan tudingan ke tubuh instansi ini. Dikatakan reformasi birokrasi itu telah gagal. Benarkah?
Sejak tahun 2002 Direktorat Jenderal Pajak telah melaksanakan reformasi birokrasi. Untuk menuju good governance dilakukan perbaikan secara mendasar terhadap sistem birokrasi. Memangkas jalur birokrasi agar menjadi lebih sistematis dan efisien. Perbaikan struktur organisasi dan administrasi tentu tak bisa berjalan tanpa sinergi dari SDM yang handal dan berintegritas. Untuk pembenahan SDM ini, Direkrorat Jenderal Pajak tak henti-hentinya mengeluarkan kebijakan yang mendukung. Dari pemberian reward dan punishment yang seimbang, hingga pemberlakuan whistleblowing system yang mulanya menuai pro kontra di kalangan internal pegawai sendiri. Polemik yang terlontar kebijakan tersebut hanya akan menjaring pelanggar kelas “teri”.
Whistleblowing system mulai diberlakukan tahun 2012 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-11/PJ/2011. Sistem yang revolusioner ini dibuat untuk membangun budaya korektif dan peduli pada masyarakat luar dan pegawai DJP, agar bersama-sama mengawal proses reformasi birokrasi.
Masyarakat diberi kesempatan untuk melaporkan pelanggaran yang diketahuinya melalui saluran yang telah disediakan. Bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan seluruh pegawai DJP dapat mengadukan peyimpangan yang dilakukan atasannya, bawahannya, maupun sesama koleganya. Untuk memudahkan pegawainya, pimpinan Direktorat Jenderal Pajak telah menyediakan instrumen yang mendukung. Antara lain dengan adanya aplikasi di intranet Kepegawaian yang memungkinkan setiap pegawai untuk mengadukan peyimpangan yang dilakukan pegawai lainnya. Setiap pegawai dapat melakukan login dengan jaminan identitasnya akan dirahasiakan. Pengaduan itu kemudian akan ditindaklanjuti Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (Kitsda), sebuah Direktorat yang berfungsi semacam provost. Kerjasama antara KPK dan Kitsda inilah yang akhirnya telah menangkap basah AS dan TH.
Informasi ini yang harus terus disebarluaskan ke masyarakat. Bahwa tertangkapnya AS ini justeru karena pengawasan berjalan efektif di internal Direktorat Jenderal Pajak. Jangan sampai tertangkapnya AS jadi demotivasi bagi pegawai pajak lain, karena stigma yang keliru. Direktorat Jenderal Pajak baru satu-satunya instansi pemerintahan yang berani mengeluarkan kebijakan whistleblowing system ini dan menggandeng KPK dalam pelaksanaannya. Mungkin bagi sebagian masyarakat kebijakan ini terdengar agak kejam, seperti menggunting dalam lipatan. Karena setiap pegawai akan menjadi mata-mata bagi pegawai lainnya. Tapi menurut penulis pengawasan melekat dari lingkungan terdekat seperti ini cukup efesien. Karena mereka yang dalam kesehariannya bersosialisasi dengan seorang pegawai biasanya akan lebih cepat mencium ketidakberesan yang dilakukan pegawai tersebut.
Masyakat harus lebih adil dan fair dalam menilai kasus tertangkapnya AS ini. Semua ini bisa terjadi karena efektifnya sistem pengawasan internal tadi. Jadi reformasi birokrasi belum gagal, justeru akan terus berlanjut. Seharusnya apresiasi diberikan ke pimpinan Direktorat Jenderal Pajak, karena kebijakan whistleblowing system ini tidak hanya menjaring “Ikan Teri” tapi juga “Kakap”.

http://obrolanekonomi.blogspot.com/2013/04/menjelang-era-globalisasi-ekonomi.html
http://deviapriyanti158.blogspot.com/2013/05/kegiatan-ekspor-dalam-bisnis.html
http://www.pajak.go.id/content/article


Sabtu, 04 Januari 2014

ETIKA BISNIS



Nama              : Amelia Putri Liliani
NPM               : 10210607
Kelas               : 4 EA 18

Penerapan Etika Profesi dalam Dunia Pekerjaan

Beberapa praktik di dalam suatu pekerjaan yang dilandasi dengan etika dengan berinteraksi di dalam suatu perusahaan, misalnya:
1. Etika Terhadap Saingan. Kadang-kadang ada produsen berbuat kurang etis terhadap saingan dengan menyebarkan rumor, bahwa produk saingan kurang bermutu atau juga terjadi produk saingan dirusakdan dijual kembali ke pasar, sehingga menimbulkan citra negatif dari pihak konsumen.
2. Etika Hubungan dengan Karyawan. Di dalam perusahaan ada aturan-aturan dan batas-batas etika yang mengatur hubungan atasan dan bawahan, Atasan harus ramah dan menghormati hak-hak bawahan, Karyawan diberi kesempatan naik pangkat, dan memperoleh penghargaan.
3. Etika dalam hubungan dengan publik  harus dujaga sebaik mungkin, agar selalu terpelihara hubungan harmonis. Hubungan dengan public ini menyangkut pemeliharaan ekologi, lingkungan hidup. Hal ini meliputi konservasi alam, daur ulang dan polusi. Menjaga kelestarian alam, recycling (daur ulang) produk adalah uasha-usaha yang dapat dilakukan perusahaan dalam rangka mencegah polusi, dan menghemat sumber daya alam.
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan dalam berbisnis. Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya, dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekwen, jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat saling menguntungkan.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis. Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
sumber : modul etika profesi (www.bsusanti.staff.gunadarma.ac.id), makalah dan jurnal.